Sepeda Ontel di Negeri Liliput
Di sebuah daratan nun jauh disana yang sering disebut orang sebagai Benua Eropa, berdirilah sebuah negeri kecil yang diapit oleh dua negara besar. Adalah negeri liliput yang terletak di tengah dua Negara raksasa bernama Perancis dan Jerman itu. Dan tahukah kau kawan, bahwa negeri liliput itu bukan lain adalah Belanda yang selama ini kita kenal.
Pernahkah kalian menyadarinya, jika kita melihat peta eropa, Belanda tidak lebih hanya liliput ditengah dua negara besar, yaitu Perancis dan Jerman. Secara ras dan kultural, posisi Belanda bagaikan kurcaci yang terjepit di tengah dua gajah raksasa. Namun dalam perkembangannya, inovasi Belanda dalam berbagai ranah kehidupan tak perlu diragukan lagi. Mulai dari kincir angin sang pembangkit tenaga listrik nan ramah lingkungan yang menjadi ikon tersohor, peran aktif penduduknya untuk menjadikan Belanda sebagai Negara multilingual sebagai penunjang perdagangan dan hubungannya dengan dua Negara raksasa tetangganya, belum lagi kepiawaian pemerintahnya dalam penataan kota, penciptaan kanal-kanal indah yang multifungsi, dan pencegahan banjir yang begitu ampuh, lalu inovasi dalam bidang transportasi umum yang serba canggih dan nyaman, hingga pesatnya kemajuan mereka di bidang pendidikan. Belanda memang bukan Negara besar, namun negeri liliput itu justru menawarkan kesempatan besar bagi kalian yang haus ilmu dan senantiasa ingin bergerak maju. Bayangkan saja, Belanda mempunyai lebih dari 1391 program studi berbahasa Inggris yang tentu kesemuanya memiliki kualifikasi kelas dunia (baca: standar internasional).
Mungkin semua orang tahu betul akan fakta-fakta mengagumkan yang terpapar di atas. Atau bahkan beberapa diantara kalian akan mencibir… apa bedanya Belanda dengan Negara-negara barat lainnya? Mereka juga sama canggihnya di berbagai bidang. Sama-sama bergerak maju dan tak pernah berhenti berinovasi. Tak ada yang istimewa. Eit! Tunggu dulu kawan, mungkin kau belum tahu kisah yang satu ini. Kisah tentang sepeda ontel di negeri liliput yang hendak kuceritakan.
Kau tahu kan apa itu sepeda ontel? Ya, sepeda roda dua sederhana yang dulu menjadi alat transportasi nenek kakek kita dulu. Kring… kring… kring…, begitu bunyinya yang nyaring memekakkan telinga. Namun sayang, penduduk Indonesia kini telah berubah menjadi manusia-manusia angkuh yang menganggap benda yang satu ini sebagai sarana transportasi yang ketinggalan jaman, tak efisien, dan nggak gaul. Kita lebih suka pergi ke kampus atau ke kantor dengan naik motor atau mobil meski jarak rumah dengan kampus atau kantor cukup dekat. Sepeda ontel dalam budaya kita dicap sebagai kendaraannya orang level bawah, sehingga dalam perkembangannya sepeda ontel semakin ditinggalkan. Namun tahukah kau kawan, kalau benda yang satu ini sangat diistimewakan di negeri liliput sana?
Betapa tidak? Ada sekitar 16 juta sepeda di negeri liliput, hampir setara dengan jumlah penduduknya. Jadi bisa diperkirakan bahwa setiap penduduk mempunyai satu sepeda. Bahkan tak jarang penduduk yang mempunyai dua hingga tiga sepeda sekaligus. Sepeda khusus untuk ke kampus, sepeda khusus untuk perjalanan jauh, dan sepeda khusus hang-out. Kalau kau mau bukti kecintaan penduduk negeri liliput pada sepeda ontel, kita bisa melihat dari fakta bahwa semua lapisan masyarakat mereka menggunakan sepeda ontel sebagai alat transportasi. Dari kakek, nenek, ibu rumah tangga, anak sekolah, mahasiswa, dosen hingga anggota parlemen, pengusaha, dan bahkan menteri juga bersepeda. Sepeda ontel digunakan untuk hampir semua keperluan transportasi, mulai dari belanja, ke sekolah, ke kampus, mengunjungi teman, rekreasi, hingga ke kantor. Karena bervariasinya jenis keperluan sepeda ini menyebabkan beragam pula jenis sepedanya, ada sepeda-nenek (omafiets), sepeda-kakek (opafiets), sepeda-perempuan (damesfiets), sepeda-pria (herenfiets), dan sepeda-anak (kinderfiets). Nah… kini kau percaya bukan, betapa istimewanya sepeda ontel bagi penduduk negeri liliput?
Gambar diambil dari http://www.masboi.com
Selain itu, bukti lain kecintaan penduduk negeri liliput terhadap sepeda ontel adalah dengan dicanangkannya “keterampilan bersepeda” sebagai salah satu mata pelajaran ekstrakulikuler di sekolah dasar disana. Dalam pelajaran bersepeda, murid akan diajari di antaranya cara memberi tanda jika akan membelok ke kiri atau ke kanan, memilih titik aman untuk berhenti di perempatan jalan, arti lampu merah-hijau pada lampu stopan sepeda, serta perlengkapan yang mesti dimiliki, seperti rem, bel, lampu depan dan belakang. Pelajaran teori singkat itu ditutup dengan ujian teori dan keterampilan bersepeda. Halaman sekolah dijadikan arena ujian, dipasangi rambu-rambu lalu-lintas sederhana, lalu setiap murid diminta mengendarai sepedanya melewati rute yang telah ditentukan. Tujuan pelajaran bersepeda itu untuk mempersiapkan murid-murid bersepeda di jalan raya dengan aman.
Umumnya, setelah murid lulus ujian bersepeda, orangtuanya berani melepas sang anak pergi dan pulang sendiri ke atau dari sekolahnya. Seluruh proses pendidikan bersepeda dan ujiannya, didukung sepenuhnya oleh korps polisi lalu-lintas di kota atau desa masing-masing. Karena anak-anak Belanda sudah diperkenalkan dengan sepeda di usia dini, maka sepeda menjadi seperti “bahasa ibu” seluruh anak-anak Belanda, yang akan dibawanya sampai tua. Bayangkan, betapa inovatifnya pemerintah Belanda dalam menggalakkan budaya bersepeda ini.
Gambar diambil dari http://www.masboi.com
Tampaknya mereka percaya betul akan pepatah “sebuah sepeda jauh lebih baik daripada satu truk obat-obatan”. Mereka sadar, dengan mengendarai sepeda, kesehatan akan senantiasa terjaga dan tidak memerlukan obat-obatan. Selain baik untuk kesehatan, rupanya penduduk negeri liliput yang pintar itu juga sadar betul bahwa sepeda ontel juga baik untuk kenyamanan kota, kenyamanan global dan pemeliharaan lingkungan. Sepeda tidak menghasilkan gas karbon monoksida maupun karbon dioksida, tidak mencemari udara maupun lingkungan serta tidak menyebabkan kemacetan arus lalu lintas. Karena sepeda dioperasikan oleh otot tubuh manusia, maka tidak memerlukan konsumsi bahan bakar berupa bensin ataupun solar.
Yang lebih mengagumkan adalah dukungan dari pemerintah yang senantiasa menyediakan jalur sepeda ontel di tiap ruas jalan di kota-kota besar hingga ke desa-desa kecil, didukung dengan transportasi umum seperti kereta api dan bus super nyaman sehingga penduduk tak merasa perlu menggunakan mobil jika ingin menempuh perjalanan jarak jauh. Tinggal bersepeda santai sampai stasiun, lalu naik kereta api yang sudah tentu canggih dan nyaman. Pemerintah negeri liliput yang bijak selalu memberikan ruang gerak seluas-luasnya dan pengutamaan untuk pengguna sepeda ontel yang ramah lingkungan ini. Dan yang membuat kisah ini menjadi sangat istimewa, belum ada satu Negara di belahan bumi mana pun yang mampu menandingi kecintaan penduduk negeri liliput terhadap budaya sepeda ontel! Negara super power sekelas Amerika sekali pun belum bisa menduplikat gaya hidup penduduk negeri liliput yang mengagumkan itu. Maka tak heran, kini negeri liliput itu lekat dengan julukan “negeri sepeda”.
Maka bisa kalian bayangkan, betapa indah dan damainya kehidupan di negeri liliput sana. Ketika sepeda ontel dijadikan filosofi hidup dalam berkendara, maka bisa dipastikan betapa negeri liliput senantiasa terbebas dari ancaman polusi dan pencemaran lingkungan. Belum lagi terciptanya paradigma yang mengakar kuat bahwa sepeda ontel bukanlah alat transportasi kelas rendah, sehingga siapapun baik itu menteri ataupun pekerja kasar akan dengan nyaman menggunakan sepeda ontel dalam kesehariannya. Dan bisa kalian perkirakan, seberapa besar kontribusi yang diberikan penduduk negeri liliput dalam misi pencegahan pemanasan global? Mungkin adalah yang terbesar yang pernah ada.
Begitulah, sekelumit kisah tentang sepeda ontel di negeri liliput bernama Belanda. Sebuah benda yang sederhana dan terkadang dianggap remeh memang, namun siapa yang menyangka kalau sepeda ontel justru menjadi inovasi Belanda paling mutakhir dan tak tertandingi. Maka andaikata kita bisa meneladani kerendah hatian penduduk negeri liliput akan kesadaran pentingnya penggunaan sepeda ontel, baik dari penduduk maupun pemerintah, maka bisa dibayangkan akan seperti apa Indonesia kelak. Negeri luas nan elok yang damai, sejuk, dan jauh dari momok ‘macet’ yang senantiasa menghantui kota-kota besar di negeri kita, dan tentu saja, menurunnya kesenjangan sosial yang telah dan akan selalu menimbulkan berbagai problem sosial yang pelik.